Selasa, 05 November 2013

A. Kajian Tentang Umbi-umbian
Umbi- umbian yang mengandung 20 persen karbohidrat atau lebih merupakan bahan- bahan makanan utama dibanyak daerah seluruh dunia termasuk Indonesia. Umbi- umbian itu ada bermacam-macam jenisnya, namun pada makalah ini dibatasi pada tiga jenis umbi yaitu, ubi kayu, ubi rambat, dan talas.
1. Ubi Kayu
Ubi kayu (Manihot esculenta crantz) merupakan komoditas utama penghasil karbohidrat setelah Padi dan Jagung, yang cukup potensial di Kabupaten Gunungkidul. Gunungkidul memilikI ketinggian tempat ± 150 - 500 m di atas permukaan laut, suhu udara 26°-28°C, curah hujan 1.528 mm/tahun dengan bulanbasah tiga bulan, bulan kering enam bulan dan potensi masa tanam enam bulan. Keadaan alam yangdemikian maka Gunungkidul sangat potensial untuk budidaya tanaman ubi kayu. Ubikayu di Gunungkidul sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan industri maupun komoditas ekspor (Prajitno etal., 2006). Luas
panen ubi kayu Di Gunungkidul mencapai 48.848 ha, produktivitasnya 11,9 ton/ha.Tanaman ubi kayu menghasilkan umbi basah yang mengandung 60% air, 25 – 35% pati, protein, mineral,serat dan sedikit unsur kalium serta fosfat. Ubi keringnya terdiri dari 11% air, 88,1% bahan kering, 3,6% protein, 1,7% mineral 1,6% serat, 0,2% kalium dan 0,1% fosfat (Blumenschein, M.R.P dan Blumenschein, A., 1989). Tanaman ubi kayu memiliki ciri khusus adanya kandungan asam sianida (HCN) terutama pada ubi dan sebagian pada daun. Ubikayu yang rasanya manis mengidikasikan adanya kandungan HCN yang rendah, sedangkan ubi kayu pahit menunjukkan adanya kandungan HCN tinggi (> 50 ppm) (CIAT, 1987).Tinggi rendahnya kandungan HCN pada ubi kayu tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuh ubikayu (Poespodarsono S , 1992). Ubikayu yang dinikmati secara langsung tanpa melalui sentuhan prosesteknologi pasca panen, pada umumnya mengesankan adanya penilaian sosial yang negatif. Oleh karenaitu lebih baik apabila di Gunungkidul dibangun suatu industri tiwul instan yang mampu merubah produk olahan yang diharapkan mampu mendongkrak kesan nilai sosial yang rendah apabila mengkonsumsi ubi kayu. Namun demikian apabila terwujud adanya keanekaragaman industri, maka bahan baku dalam bentuk ubi kayu akan meningkat dan lebih penting lagi kontinuitas penyediaan ubi kayu semakin dibutuhkan. Untuk ini di Gunungkidul memiliki lahan cukup luas bahkan lahan keringnya terluas di DIY yang dapat ditanami ubi kayu (Budiarto, 2010).
2. Ubi Jalar (Eponoea Batatas)
Bahan makanan ini di bawa ke Eropa oleh Columbus. Ubi dibagi menjadi 4 macam, ubi putih, ubi merah, ubi ungu dan ubi madu. Ubi putih mempunyai tekstur yang rapuh, namun rasanya lebih manis daripada ubi merah. Ubi yang dagingnya berwarna kuning mengandung karotin, sedangkan ubi yang berwarna ungu mengandung beta karoten yang bermanfaat untuk ketahanan tubuh dari penyakit kudis dan bagus untuk kesehatan mata. Ubi ini cocok untuk digoreng ataupun kolak. Ubi merah sangat cocok untuk kolak dan biji salak, karena rasanya yang tidak terlalu manis, maka ubi ini memang tidak terlalu cocok untuk berdiri sendiri. Jadi perlu diberi perasa manis. Selain dikonsumsi umbinya, daunnya pun dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Pengembangan ubi jalar di Papua memiliki prospek yang cerah karena didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam, baik tanah maupun iklim yang sesuai. Ubi jalar merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Papua dan sebagai pakan ternak, juga sebagai komoditas yang diperjual belikan. Komoditas ini juga memiliki nilai sosial yang tinggi karena digunakan pada acara pernikahan, penyambutan tamu, upacara kematian, pelantikan kepala suku, pesta panen, dan festival budaya.
Sebagai contoh, sudah ada pabik pengolahan ubi jalar yang diolah menjadi produk-produk makanan yang berkualitas seperti aneka bakpaw ubi, ice cream ubi dan kue dari ubi. Pabrik ini bernama SPAT yang berada di daerah Malang Jawa Timur. Ubi rambat yang diolah menjadi berbagai makanan yang berkualitas dan bergengsi ini tentu mempunyaii daya tarik tersendiri bagi konsumen/ masyarakat umum untuk mengkonsumsi ubi jalar.
3. Talas
Talas yang dikenal di pasaran ada 2 macam. Yaitu talas putih yang dikenal dengan talas Bogor dan talas ungu yang dikenal dengan nama Bentul atau talas Belitung. Perbedaannya adalah talas Bogor lebih masir sedangkan talas Belitung lebih pulen dan beraroma khas dan wangi.
a. Talas Bogor
Salah satu jenis talas yang digemari orang ialah Colocasia esculenta L. Schoott atau talas bogor. Bedanya dengan kimpul jenis ini mempunyai daun yang berbentuk hati dengan ujung pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah. Warna pelepah bermacam-macam. Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol. Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga jantan disebelah atasnya, sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit. Pada ujung tongkolnya terletak bunga-bunga yang mandul, umbinya berbentuk silinder sampai agak membulat. Talas Bogor ini mengandung kristal yang menyebabkan rasa gatal. Terdapat keanekaragaman pada bentuk daun, warna pelepah, bentuk dan rasa umbi serta kandungan kristal. Untuk pertumbuhan talas yang baik diperlukan tanah yang kaya akan humus dan berdrainase baik.
b. Talas Belitung (Kimpul)
Talas belitung dengan nama ilmiah Xanthosoma sagitifolium ini termasuk famili Areacea dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu yang sebenarnya adalah tangkai daun. Umbinya digunakan sebagai bahan makanan dengan cara direbus ataupun digoreng. Di Benua Afrika bagian barat, di daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat telah dibudidayakan secara teratur oleh para petani. Pada umumnya tanaman ini diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun. Rata-rata hasil per rumpun berkisar antara 0,25 – 20 kg. Para petani telah melakukan penyiangan dan pembumbunan tanaman, kecuali di daerah Bengkulu. Pada umumnya para petani tidak melaksanakan pemupukan maupun pemberantasan hama penyakit, kecuali para petani daerah Nusa Tenggara Timur. http://bukabi.wordpress.com/2009/01/27/umbi-umbian-talas.
Talas dapat diolah mejadi aneka makanan, seperti gethuk talas, keripik talas, bisa juga hanya direbus, selain itu daun talas juga dapat diolah menjadi sayur.
B. Upaya Sosialisasi Makanan Tradisional Umbi –Umbian Sebagai Pengganti Makanan Pokok
Sebagaimana instruksi/himbauan Kakanwil DIKBUD DIY untuk acara rapat-rapat hidangan tidak menggunakan kue yang terbuat dari terigu, ini berarti salah satu upaya untuk melestarikan kue-kue tradisional atau makanan non terigu seperti kue atau makanan pokok dari bahan singkong, ubi jalar, talas, jagung dll. Merupakan wujud kepedulian dukungan pejabat untuk mensosialisasikan makanan tradisional kepada masyarakat.
Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan dalam pengembangan makanan tradisional umbi-umbian sebagai pengganti makanan pokok, antara lain :
1. Menginventarisasi dan menggali secara terus-menerus berbagai sumber makanan tradisional dari berbagai daerah dan mengkaji karakteristik keunggulannya terutama yang berkhasiat bagi kesehatan. Hal ini sejalan
dengan sifat makanan tradisional sebagai pangan fungsional. Dari hasil menginventarisasi tersebut selanjutnya dapat diketahui jenis/keragaman makanan tradisional sehingga dapat dipilih mana jenis makanan tradisional yang dapat ditinggalkan, dipertahankan dan yang memiliki potensi untuk dikembangkan.
2. Mengkaji makanan tradisional tertentu yang berpotensi untuk dikembangkan, baik dilihat dari segi khasiatnya, kemungkinan penerimaannya oleh konsumen, maupun dari segi analisis tekno-ekonominya. Pada bahan makanan seperti umbi, misalnya ketela pohon/ubi kayu dengan adanya perbaikan cara pengolahan dan sedikit sentuhan teknologi menjadi produk seperti Gethuk Trio, Gethuk Salatiga dan Gethuk Sukaraja, terjadi peningkatan nilai ekonomi yang signifikan serta menjadi ciri khas suatu daerah.
3. Meningkatkan mutu, keamanan, dan prestise makanan tradisional melalui upaya-upaya seperti pemilihan bahan mentah dan bahan tambahan yang lebih baik, penanganan yang lebih higienis dan praktis serta penyajian yang lebih menarik. Salah satu syarat mutlak dari suatu produk pangan adalah aman, tidak menimbulkan gangguan kesehatan setelah orang mengkonsumsi makanan tersebut. Salah satu cara untuk menghasilkan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi maka proses pengolahan harus diupayakan sebersih mungkin agar dapat meminimalkan kontaminan yang masuk dalam makanan.
Penyajian makanan tradisional umumnya masih lemah, bahkan display makanan tersebut di pasar tradisional umumnya tidak dilokalisir pada kelornpok penjual makanan tradisional namun bercampur dengan penjual sayuran, bumbu dapur, dll. Hal ini membuat makanan tradisional semakin kental dengan label murah dan tidak higienis. Peralatan untuk tempat menyajikan makanan tradisional tidak spesifik bahkan sering terlihat sudah "lusuh", misalnya pada penjual aneka macam bubur.
Penyajian, erat kaitannya dengan image dari produk tersebut, sehingga untuk memperluas pasar clan penerimaan konsumen maka penyajian pada makanan tradisional perlu dibenahi dan ditingkatkan, minimal tampil bersih dan tertata. Penyajian yang menarik dari suatu produk pangan juga tidak lepas dari cara mengemasnya. Kemasan dapat pula menjadi ciri pada suatu produk, misalnya bentuk kemasan daun antara makanan arem-arem dan lemper akan berbeda. Selain itu pada kemasan, produsen dapat memberikan banyak informasi maupun sebagai sarana promosi.
4. Memasyarakatkan keunggulan makanan tradisional termasuk kepraktisan cara pengolahan dan khasiatnya bagi kesehatan pada konsumen yang lebih luas melalui berbagai jenis media cetak atau elektonik yang tepat sasaran. Makanan tradisional harus dapat menyesuaikan dengan tuntutan perubahan gaya hidup generasi kerja. Generasi mendatang dihadapkan pada alam persaingan yang semakin ketat serta, menuntut perubahan gaya hidup yang mementingkan efisiensi tinggi. Keluarga kemungkinan tidak lagi bisa menyiapkan makanan yang membutuhkan waktu lama sehinga perlu diupayakan jenis makanan tradisional yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sentuhan teknologi untuk membuat penyiapan makanan tradisional tidak merepotkan misalnya dengan penyiapan bumbu-bumbu yang bersifat "instant" (Suparmo, 1998).
Untuk membangun citra makanan tradisional sekaligus kecintaan terhadap produk tersebut, sangat penting adanya dukungan dari media (cetak
maupun elektronik) karena media lebih mudah membangun image pada konsumen. Selain itu perlu ada dukungan, pengarahan dan pendampingan yang terus menerus pada pelaku bisnis makanan tradisional agar mereka selaku pemain utama untuk selalu mengusahakan citra positif dari makanan tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar